Senin, 31 Mei 2010

masih menunggumu di pintu gaza


dan sebelum gerbang ditutup
lelaki-lelaki kurus menengadah di tepi jalan
berjalan pulang sebalum jam malam

kutunggu kau di pintu gaza
dermaga kecil dengan tiang-tiang mungil
saat deru kapalmu menyisiri pantai
lalu menyusuri sela-sela senapan

kami tak pernah tahu
berapa lama lagi
setiap hari dari hidup kami
ditebus dengan darah di lautan

aku masih menunggumu di pintu gaza

Minggu, 30 Mei 2010

Masih kah Kau Mencintai Aku?

SELALU engkau tanyakan padaku, "apakah engkau masih mencintai aku?"

Aku sejak dulu bertanya, apakah kata 'masih' memang pantas disandingkan
dengan kata 'Cinta' itu? Aku tak bisa meyakinkan engkau bahwa cinta itu kekal,
tapi maukah engkau seperti aku, yang terbiasa percaya saja pada kata 'selalu'?

*

Selalu engkau tanyakan padaku, "apakah mimpi kita pantas terus diteruskan?"

Aku sejak dulu menjawabmu begini, "sejauh ini sudah kita bersama melangkah,
kita memulai dengan sebuah mimpi, lalu perjalanan dari mimpi ke mimpi. Kita
pasti akan lelah. Kita memang belum sampai. Tapi, lihatlah apa yang telah kita
tempuh: mimpi-mimpi yang mengadakan kita, mimpi-mimpi yang mengitakan kita."

Sabtu, 29 Mei 2010

isilah hidup dengan batu-batu besar

hidup yang kita nafaskan
adalah tempayan
yang tiap hari kita isi bebatuan

ada begitu banyak cerita
begitu banyak cita-cita
sementara hidup kita
tak pernah mampu mencukupi

jika kita tak pernah mampu
mengisi tempayan kita dengan bebatuan-bebatuan besar
maka tempayan kita tak lebih dari kerikil-kerikil kecil

Jumat, 28 Mei 2010

mengapa harus ada yang pergi dan meninggalkan?

kutahu, di setiap perjalanan
akan ada kehilangan
akan ada kepergian
akan ada kesedihan

ah, mengapa harus ada yang pergi dan meninggalkan?
bukankah kita telah bersama-sama memutuskan
akan menjalani hidup sebagai awan?

Kamis, 27 Mei 2010

merelakan kepergian

setiap daun-udaun yang tumbuh adalah
kehilangan bagi rimbun musim sebelumnya
setiap nafas-nafas yang pergi
adalah kehadiran bagi jiwa-jiwa yang lain

Jika kita tahu bahwa kepergian itu niscaya
maka mengapa kita tak mampu pergi dengan bahagia?

Bukankah kita selalu percaya
bahwa setiap jalan penciptaan-Nya
lahir dari kematian-kematian yang lain

Kutitip wangi lili di senyummu

di senyummu
aku menitip beberapa tangkai lili
beberapa berwarna putih
beberapa berwarna merah muda

kadang-kadang
ketika musim dingin tiba
aku harus mencari hangat
dan wangi lili
di senyummu

Teruslah Berjalan

sebelum lelah tangan ini memanggul
nyanyian-nyanyian pilu dalam bakul
dan sekantung penuh air mata
akan kuantar kau kau menuju kota
tempat kita harusnya berhenti
menunggu mati

teruslah berjalan
hingga sampai kita ke tanah harapan
tempat kita menebar nyanyian
yang sepanjang jalan meronta-ronta
tempat kita bisa menanam airmata
yang kelak tumbuh menjadi rumah

teruslah berjalan
sebelum tangan ini menjadi akar
tubuh ini menjelma belukar

kenduri ziarah

seperti baru kemarin kita berbincang
di tepi ladang saat kemarau begitu bandang
dan gumpal awan belum menuliskan kata hujan
engkau katakan ingin berziarah
ke sebuah padang, kau menyebutnya padang cinta
tempat bapak adam dan ibu hawa berjumpa
sebagai anak aku berkata, pergilah
sebagaimana para tetua pernah melakukan
bersama palka dan angin muson

lalu kau ikat kayu bakar, dan sama-sama kita panggul
menyusur jalan pulang, seraya menyebut perjalanan kelak
sebagai perjalanan yang mungkin terakhir engkau lakukan.

pada suatu pagi, ketika angin muson mulai berputar di atas bandar
aku mengantarmu pergi, seperti hendak menjemput mati
sebab sebuah perjalanan mungkin sampai, mungkin juga bukan
hanya, aku berharap tidak ada perjalanan yang sia-sia
air mataku jatuh, saat tubuh rentamu melambai seperti daun jagung
mungkin ini cara perpisahan yang aneh
atau semacam cara untuk memberi pesan, bahwa hidup manusia
hanyalah telur di ujung jarum, yang genting tetapi juga penting

sepanjang pergimu, air mataku meleleh-leleh
sekalipun air mataku bukan lilin
di mataku, engkau bukan lelaki renta
melainkan sosok yang begitu perkasa menantang ketakutanmu
sendirian

kelak jika engkau pulang, aku ingin mendengar cerita
tentang peziarah renta yang tersesat di sudut kota tua
dan di sebuah gang, ada seorang nabi meninggalkan anak istri
demi cinta tanpa syarat
lalu kita mengenalnya sebagai berkorban
sejenis kemampuan untuk tidak terikat kepada cinta
yang mungkin sia-sia

entahlah, selamat jalan lelaki renta, takdir menunggumu di sana

Persinggahan Terakhir

pernah di suatu sore saat kita ketinggalan kereta
kau cerita terbata-bata tentang cita-cita
yang selalu ingin kau ke sana: sebuah kota
tempat bagi pengembara seperti kita
tapi ini bukan tentang ziarah
yang sekedar singgah melepas lelah, menengadah
lalu perlahan lahan kita gerah
kau ingin menetap, membangun atap
tempat kita berbagi senyap yang kerap hinggap
melalap

di ujung galah, saat kita telah lelah bernafas
saat usia kita hampir meretas
kau berjanji ceritakan ke anak-anak kita
sebuah kota
tempat kita menanam mimpi dengan kerikil
tempat kita mejahit langit dengan perca
peta kota yang buta dan pengembara tak tahu arah

sebuah kota: tempat kita membangun rumah

welcome to the fadlanous's poems parade